Jakarta tempo dulu
adalah sebuah
perkampungan yang
masih asri, penuh
dengan pohon-pohon
yang besar dan
rindang. Sebuah
kisah mistis terjadi di
kawasan Senayan,
Jakarta Selatan.
Kisah tentang
seorang ibu yang
mati dalam keadaan
hamil tua dan
arwahnya menjelma
menjadi sosok
Kuntilanak ….
Sosok kuntilanak
sekarang ini menjadi
primadona dalam
sinetron maupun film
layar lebar. Dalam
tayangan
sinematografi,
umumnya digambarkan
sang kuntilanak
umumnya digambarkan
sebagai sosok arwah
penasaran yang
membalas dendam
pada orang-orang yang
pernah mencelakainya
sewaktu dia masih
hidup sebagai manusia.
Entah kebetulan atau
tidak, peristiwa yang
saya ceritakan ini persis
seperti kisah dalam
film, yakni tentang
sosok kuntilanak atau
pocong yang ingin balas
dendam kepada mereka
yang telah mencelakai
dirinya.
Kejadiannya memang
sudah cukup lama, yakni
pada tahun 50-an, dan
berlangsung di daerah
Senayan, Jakarta
Selatan. Waktu itu saya
(Penulis) masih duduk di
bangku Sekolah Rakyat
(SR) atau yang
sekarang disebut SD.
Perlu diketahui, pada
tahun 50-an, Senayan
tentu saja belum
menjadi sebuah
kawasan metropolitan
seperti sekarang ini.
Waktu itu Senayan
adalah sebuah
perkampungan
masyarakat Betawi
yang masih banyak
ditumbuhi pohon besar.
Orang Betawi tempo
dulu memang sudah
lazim menanam pohon
nangka, cempedak,
rambutan, durian,
mangga dan kelapa di
kebun atau halaman
rumah mereka. Jadi
saat itu kondisi Senayan
mirip hutan atau daerah
pegunungan.
Waktu, orang tua saya
dan beberapa kepala
keluarga lainnya yang
berasal dari desa di
Jawa Barat, merantau
ke Senayan. Kami
sebenarnya satu sama
lain masih merupakan
sanak saudara. Rumah
orang tua saya, terletak
di pinggir jalan, sebab
kakek saya membuka
usaha toko furniture.
Bersebelahan toko
kakek, adalah toko
sembako milik seorang
keturunan Cina totok
yang akrab disapa
Babah Jangkung.
Babah Jangkung dan
keluarganya termasuk
China yang kaya raya
kala itu. Karena tak ada
saingan, toko
sembakonya sangat
laris. Pembelinya bukan
cuma penduduk sekitar,
tapi ada juga yang
datang dari jauh.
Agaknya, Babah
Jangkung memang
menjual dagangannya
dengan harga yang
sedikit miring, karena
itu pelanggan
berbondong-bondong
datang ke tokonya yang
besar itu.
Sementara itu, di
belakang rumah kakek
saya, berjajar rumah-
rumah sederhana milik
orang yang sedesa
dengan kami.
Sedangkan rumah orang
Betawi asli terletak
agak jauh. Waktu itu,
hampir semua pribumi
Betawi masing-masing
memiliki tanah yang
cukup luas. Ukuran
rumahnya pun besar-
besar dengan banguan
khas Betawi.
Suatu hari, tetangga di
belakang rumah,
persisnya seorang ibu
muda baya yang
bernama Ceu Tiyah
terserang malaria.
Tubuhnya menggigil,
walaupun sudah
diselimuti berlapis-lapis
kain. Sementara itu pula
suhu badannya kian
meninggi karena
demam yang hebat.
Malang sekali nasib Ceu
Tiyah. Waktu itu dia
tengah mengandung
beberapa bulan. Karena
waktu itu belum ada
obat-obatan seperti
sekarang, dan juga
karena takdir Allah, Ceu
Tiyah tak pernah
sembuh lagi dari
serangan malaria itu. Dia
meninggal bersama bayi
dalam kandungannya.
Malam harinya, setelah
siangnya Ceu Tiyah
dikuburkan, nenek saya
kebetulan buang air kecil
di kamar mandi. Letak
kamar mandi dan wc
kami terpisah dengan
bangunan rumah.
Kebetulan kamar mandi
itu bersebelahan dengan
rumah keluarga Ceu
Tiyah. Selesai buang
hajat kecil, nenek saya
terkejut bukan
kepalang. Apa lacur,
nenek melihat sosok
Ceu Tiyah sedang berdiri
sambil menyaksikan
orang main kartu di
ruang tamu rumahnya.
Kebiasaan orang Betawi
waktu itu kalau ada
yang sedang berduka
atau lahiran maupun
pesta, malamnya
memang selalu diisi
dengan main kartu.
Apalagi, suami Ceu
Tiyah memang dikenal
sebagai seorang penjudi
berat.
Di luar rumah
almarhumah Ceu Tiyah
memang tidak ada
penerangan, tapi sinar
lampu patromak dari
ruang tamu lumayan
terang. Ingat, waktu itu
Jakarta belum ada
listrik.
Karena yakin yang
dilihatnya adalah Ceu
Tiyah yang baru siang
hari tadi dikuburkan,
dengan melangkah
perlahan-lahan dan
sambil membawa
segayung air, nenek
saya yang pemberani
menghampiri Ceu Tiyah.
Kemudian air itu
disiramkannya oleh
nenek sambil berkata,
“Pergi kamu!”
Ceu Tiyah berlalu. Tapi
bukan dengan
melangkah, melainkan
melayang seperti
terbang sambil
mengeluarkan suara
mirip anak ayam.
Beberapa hari kemudian
setelah kejadian malam
itu Uding, suami Ceu
Tiyah terserang demam
tinggi. Yang terasa
aneh, bola mata Uding
selalu melotot seperti
orang ketakutan, dan
mulutnya selalu
berteriak-teriak
menyebut nama
almarhumah isterinya,
“ Ampun Tiyah! Ampun
Tiyah!”
Hanya sehari sakit, jiwa
Uding tidak tertolong
lagi. Dia meninggal
dalam keadaan kedua
bola matanya
membelalak, seperti
melihat sesuatu yang
amat menakutinya. Hal
yang sangat aneh dan
misterius, pada leher si
mayat terihat bekas
tangan mencengkeram
sedemikian kuat. Karena
itulah orang-orang
menduga Uding tewas
karena dicekik.
Mungkinkah itu
perbuatan Ceu Tiyah
yang menurut
kesaksian nenek saya
telah berubah wujud
menjadi kuntilanak?
Yang pasti, sejak
kematian Uding, teror
Ceu Tiyah semakin
menjadi-jadi. Setelah
suaminya meninggal
dengan bekas cekikikan
di leher, teman-teman
berjudi Uding pun
mengalami nasib yang
sama. Mereka mula-
mula terserang demam
tinggi. Beberapa hari
kemudian meracau
dengan berteriak-teriak
dan mata membelalak
ketakutan. “Ampun Ceu
Tiyah! Ampun Ceu
Tiyah !” Begitulah yang
keluar dari mulut
mereka.
Teman-teman judi
Uding itu akhirnya
meninggal, dengan
kondisi sama seperti
suami Ceu Tiyah. Ada
bekas cekikan di
lehernya.
Ceu Tiyah pun tak urung
melakukan balas
dendam pada Babah
Jangkung, si pemilik
toko sembako. Babah
Jangkung rupanya
pernah memaki-maki
Ceu Tiyah semasa
hidupnya, karena utang
belanja sembako di
tokonya tidak terbayar.
Balas dendam juga
dilakukkan pada
tetangga yang pernah
bertengkar dengan
almarhumah. Bahkan,
musuh anak Ceu Tiyah
(ada dua anak remaja
Ceu Tiyah) meninggal
juga secara mendadak.
Atas kejadian demi
kejadian misterius ini,
oang sekampung
tambah yakin bahwa
semua teror maut itu
adalah perbuatan balas
dendam dari Ceu Tiyah
yang disebut-sebut
telah menjelma menjadi
Kuntilanak.
Memang, sudah menjadi
rahasia umum bahwa
Ceu Tiyah dengan
suaminya hidup tidak
harmonis. Kedua suami
isteri itu sering telibat
pertengkaran. Salah
satu penyebabnya
adalah karena suami
Ceu Tiyah seorang
pejudi berat. Uang yang
didapat sebagai buruh
bangunan selalu
digunakan untuk judi,
sehingga utang ke
Babah Jangkung tidak
pernah lunas.
Awal tahun 60-an,
penduduk Senayan
terkena penggusuran,
karena di areal itu akan
dibangun komplek
Gelora Bung Karno dalam
rangka Asian Games.
Mula-mula yang digusur
adalah tempat
pemakaman umum
yang lokasinya hanya
beberapa puluh meter
dari tempat tinggal
kami.
Masing-masing kuburan
digali lalu tulang-
belulangnya dipindahkan
ke pemakaman Blok P
Kebayoran Baru.
Sekarang pemakaman
Blok P pun sudah tidak
ada lagi, karena di lokasi
itu sudah dibangun
gedung kantor Walikota
Jakarta Selatan.
Penduduk Senayan yang
kena gusur pindah
berpencaran. Ada yang
pindah ke sekitar
Kebayoran Baru, ada
yang ke Simprug, dan
ada yang ke Tebet.
Kakek saya sekeluarga
memilih pindah ke
Tebet.
Sejak penggusuran itu,
teror maut Ceu Tiyah
tidak pernah terjadi lagi.
Anak-anaknya yang
menjadi yatim piatu
pulang kampung.
Hampir setengah abad
berlalu kejadian
misterius itu, namun
rasanya baru saja
kemarin terjadi. Bila
ingat lagi saya bergidik
ngeri.
Home » KISAH CERITA MISTIK DAN GHAIB » BALAS DENDAM KUNTILANAK
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar